SUATU PENILAIAN MENGENAI REFORMATOR GEREJA
ELROY NATHANIEL[1]
Dankbaar, D. W. Calvin: Jalan Hidup dan Karyanya. Jakarta: Gunung Mulia, t.t.
CALVIN, SIAPAKAH DIA?
Calvin, seorang anak kecil yang pertama muncul di Noyon pada tanggal 10 Juli 1509. ia memulai kehidupannya dengan belajar di College des Capettes di Noyon. Melanjutkan ke College Montaigu di Paris. Di sana ia mendapat gelar Magister dalam ilmu pengetahuan bebas [liberal arts, ed.]. Tahun 1528-1531, ia belajar hukum di Orléans dan Bourges serta mendapat gelar dalam ilmu hukum. Namun setelah ayahnya, Gerard Cauvin meninggal, Calvin berpindah haluan menuju sekolah teologi. Ia belajar di College France. Di sini yang berkembang justru aliran humanisme. Hal ini kemudian mendapat cukup perhatian. Namun, di Paris itu ia malah tinggal di rumah seorang penganut reformasi, Etienne de la Forge. Calvin sontak menaruh pengertian dan kemudian membandingkannya dengan humanisme dan ajaran Katolik Roma. Dari sinilah ia kemudian mendapat suatu perbedaan yang mencolok pada ajaran mengenai transubstansiasi dan amal-amal baik. Ia kemudian beralih mendalami ajaran reformasi melalui literatur milik Luther, Lefevre d’Estaples dan lainnya. Mulailah pikirannya terbuka dan ia cukup mendapat banyak teman di saat itu.
AWAL PERJUANGAN
Calvin mengawali perjuangan dengan ditemani oleh Nicholas Cop, seorang rektor baru di Universitas Paris. Suatu ketika, ia diberi kehormatan untuk menyampaikan pidato di hadapan mahaguru-mahaguru di universitas itu. pidato itu berkenaan dengan peringatan Hari Segala Orang Suci [1 November, ed.]. Namun, apa yang terjadi? Di saat itu Calvin yang berdiri di belakangnya bertekad untuk menyebarkan ajaran reformasi melalui pidato Cop. Jadilah Nicholas Cop berkhotbah di sana. Mengutip beberapa ayat Alkitab serta menjabarkan ajaran mengenai keselamatan melalui iman semata tanpa amal-amal baik. Terang saja, orang-orang dalam gereja ribut. Mereka kemudian seorang dengan yang lain berkata, “Ini berbau kemurtadan Luther!” Memang Lutherlah inspirasi mereka. Maka tamatlah pidato itu. Calvin dan kawannya itu segera pergi ke luar kota melarikan diri. Karena ada ucapan, penganut reformasi akan dianiaya dan dihukum mati.
Perjuangan tidak berhenti di situ. Iman yang tumbuh subur dalam jiwa Calvin itu semakin mendorong Calvin untuk belajar dan mengabarkannya ke seluruh dunia. Ia akhirnya menerbitkan suatu buku yang berjudul Institutio. Namun Calvin tidak menulis namanya. Ia ganti dengan Charles d’Espeville. Buku yang terbit tahun 1536 di Basel mendapat sambutan baik dan laku terjual. Ia melanjutkan pengembaraan panjang ke Claix menemui du Tillet. Di sana pengetahuannya bertambah banyak mengenai reformasi. Kemudian berangkatlah mereka ke Orléans dan Poitiers. Di sini penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut reformasi terjadi dengan hebatnya. Calvin menyadari benar bahaya mendekatinya. Namun semangatnya tak layu. Ia malah terus melangsungkan pengajarannya di desa-desa Claix itu sambil mengendap-endap. Tak lama memang, setelah itu mereka ke luar negeri. Mereka ke Strasbourg.
PERJUANGAN PEMBARUAN DI JENEWA
Perjuangan paling sengit terjadi saat Calvin dipanggil pemerintah Jenewa atas ajakan Farel, teman sejawatnya. Tiba di Jenewa, ajaran Katolik Roma cukup kental di sana. Namun Calvin berupaya untuk menunjukkan ajaran reformasi yang ia yakini dapat mempertanggungjawabkan itu untuk disosialisasikan. Tidak mudah memang. Ajaran itu mula-mula diterima, tetapi setelah sekian lama akhirnya terjadi keributan juga. Masalahnya ada pada tata ibadah dan beberapa pokok pengajaran. Kontan saat itu Calvin segera diusir bersama dengan sahabatnya Farel. Mereka dianggap melanggar ketentuan di dalam tata ibadah gerejawi. Beberapa pengacau utusan Courat yang sudah terpenjara. Rumah kediaman Calvin dan Farel ditembaki. Mereka pun akhirnya dituduh pembangkang karena enggan melaksanakan upacara-upacara sakramen seperti perjamuan suci. Mereka berdua terbuang dari Jenewa (1538).
Namun, perjuangan belum selesai. Di kemudian hari Calvin kembali dipanggil oleh pihak dewan kota di Jenewa. Calvin sebenarnya sudah enggan dan ia pun menolak dengan berbagai alasan seperti ia ingin menulis buku dan mendalami ajarannya. Namun, sahabatnya Farel kembali menekan dirinya untuk kembali ke Jenewa dan membenahi tingkah laku dan ajaran di sana. Semenjak keluarnya Calvin dari sana keadaan tidak bertambah baik, malah semakin kacau dengan adanya pihak pemerintah Bern ingin menguasai Jenewa. Tindakan ini dilakukan melalui berbagai cara. Mulai dari perekonomian sampai hal-hal gerejawi. Semangat yang tak padam dari Calvin dan juga perjuangannya yang begitu panjang, membawa perubahan. Ia kembali ke sana dan melakukan suatu revolusi besar-besaran. Melawan Sadoleto, orang yang tinggi ilmunya, namun mengikuti ajaran yang menyimpang, Calvin pun menang. Menghadapi Michael Servet, sarjana teologi yang berselisih mengenai pengakuan iman pada bagian “Kristus turun dalam kerajaan maut,” Calvin pun tak gentar. Padahal sewaktu itu namanya hampir-hampir dicaci maki dan disudutkan oleh berbagai lapisan masyarakat karena dianggap pembohong besar. Mengajarkan ajaran palsu. Michael Servet pun terus mempertahankan pendapat. Ia tak kenal takut. Bahkan Calvin pun dipaksa bekerja sama dengan pihak dewan Katolik Roma untuk mendapati dakwaan-dakwaan pada diri Michael Servet. Ini yang kemudian menjadikan reformasi tercoreng. Namun, akhirnya, Michael Servet pun sadar ia tidak bisa bertahan dengan pendapatnya. Hukuman mati dan bahkan penggal sudah ada di depan mata. Ia tak lagi bisa menyangkal terhadap reformator muda itu.
CALVIN, ATURAN DAN DERITANYA
Hukuman mati atau penggal menjadi suatu tindakan peradilan yang sungguh kejam pada waktu itu. Bagaimana tidak, setiap mereka yang melanggar peraturan diperingatkan, tetapi bila terus membangkang akan terkena hukuman. Seorang pemberontak melalui pengajaran atau penyimpangan dengan mengadakan keributan-keributan pernah dihukum penggal. Seperti matinya Sadoleto atau Michael Servet. Peraturan lainnya pun dianggap terlalu ketat dan mengganggu kehidupan pribadi tiap personal. Calvin sadar dengan berbagai-bagai aturan yang ditulis, tetapi perlu juga dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Calvin tak hanya ingin peraturan itu tertulis di atas kertas. Hal ini kemudian yang menarik kesimpulan banyak orang pada saat itu, bahwa Calvin sangat ekstrem dan kejam. Hukuman gantung, penggal dan dibakar hidup-hidup di atas api menjadi semacam kelaziman yang begitu menyedihkan. Namun, apakah Calvin seperti itu?
Bila kita tengok surat-suratnya kepada beberapa sahabat, maka fakta itu perlu ditinjau kembali. Calvin adalah seseorang yang cerdas dan berbudi. Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang dirasa melampaui batas tertentu yang akan menimbulkan respek yang buruk. Sikap seperti ini ditunjukkan jelas-jelas di hadapan teman-temannya. Ia tidak marah dan menaruh dendam pada orang-orang yang pernah memusuhi atau bahkan mengkhianatinya. Ia tetap sabar. Meskipun berbagai penderitaan datang. Saat istrinya, Idelette de Bure meninggal, Calvin tetap tabah dan malah semakin menyadari betapa istrinya itu menginginkan Calvin terus berjuang menumbangkan “rezim-rezim” yang menyimpang dari ajaran yang benar.
AKIBAT PERATURAN DISIPLIN
Perjuangan yang panjang nan lelah, namun membawa perubahan yang kentara. Itulah yang terjadi di Jenewa. Peraturan ditegakkan, disiplin gereja berjalan, tata ibadah dan penggembalaan serta tata tertib dalam masyarakat berjalan dengan semestinya. Calvin pun mulai tersenyum. Perjuangan untuk memperbarui keadaan di Jenewa telah berhasil ia lakukan. Masyarakat hidup dalam pengabdian yang benar kepada Allah. Segala kemewahan yang menonjol mulai disingkirkan dengan berbagi kepada orang miskin. Pesta-pesta meriah yang mengosongkan jiwa mulai ditinggalkan. Bangkitlah masanya Reformasi. Akademi-akademi teologi saat itu sudah dibangun. College de la Rive, yang dulu di bawah Castellio sudah diperbaiki. Akademi ini terdiri atas dua bagian yaitu schola privata dan schola publica. Keduanya merupakan sekolah Latin yang merupakan kombinasi antara sekolah rendah dan lanjutkan. Dalam kurun tiga tahun akademi ini menyerap ribuan siswa dari berbagai negara. Para pembimbing pun tak segan macam Theodorus Beza dan Pierre Viret ada di sana.
BAGAIMANA KITA MENANGGAPI BUKU INI?
Buku ini penuh dengan lika-liku kehidupan seorang reformator yang benar-benar teguh imannya dalam ajaran reformasi. Pengabdian yang tulus dan juga kerja keras yang tinggi membuat dia menjadi salah satu tokoh reformasi yang meninggalkan banyak harapan bagi kita di sini dan kini. Perjuangan untuk mengadakan revolusi terhadap suatu ajaran yang menyimpang, menuju pada dasar hidup yang sebenar-benarnya melalui pendalaman Alkitab yang sungguh. Calvin paham benar akan hal ini. Ia rajin dalam membaca buku dan juga menafsirkan Alkitab. Tafsiran-tafsirannya merupakan bukti bahwa ia tak setengah-setengah menunaikan tugas pengabdiannya. Ia gemar belajar! Tubuhnya sampai sakit, kepalanya pening, pikirannya jenuh, tetapi semua itu dirasa sangat membahagiakan dirinya. Sekalipun ia harus kehilangan nyawa. Seolah saat ia sakit, ia berhenti mengerjakan tugasnya. Ia tak senang akan hal ini. Ia benar-benar teladan.
Dalam hal ini, berbagai kutipan surat-surat Calvin sangat menunjang bagi kita untuk belajar memahami sifat dan karakter Calvin tak memendam semangat radical revolution yang konyol, awur-awuran. Ia suka terhadap perubahan yang berangsur namun menunjukkan adanya aktualitas yang nyata bagi kemuliaan Allah. Besar dan sangat harapan reformator ini melakukan revolusi. Revolusi menuju arah pembaruan ajaran, tata ibadah gereja, spiritualitas jemaat dan juga aktualitas yang nyata. Dan itu pun terpenuhi di saat terakhir hidupnya yang semakin lelah. Ajaran-ajarannya yang memukau, memikat dan menarik perhatian adalah salah satu rahasia keberhasilannya. Khotbah-khotbahnya yang terarah, alkitabiah serta ditunjang dengan kepekaannya terhadap keadaan sosial masyarakat membuat jemaat saat itu kagum pada dirinya. Seorang penulis cepat [stenografer, ed.] asal Perancis, pernah membukukan khotbah-khotbah Calvin sebanyak kurang lebih 59 jilid yang tebal-tebal. Setiap satu tahun, kira-kira ia mencatat hampir dua ratusan khotbah-khotbahnya. Kalau seumur hidup penulis cepat itu mencatat, maka kira-kira kita bisa bayangkan berapa banyaknya.
Dr. Dankbaar mungkin menjadi salah satu saksi dari penulis cepat asal Perancis itu. ia meletakkan kritik-kritik dan pertimbangan-pertimbangan yang logis pada diri seorang Calvin. Ia mampu melakukan perubahan pada susunan peristiwa-peristiwa agar secara urut dan tidak menimbulkan salah pengertian.
Biografi Calvin ini sangat menolong banyak pihak tentang bagaimana cara berjuang dalam zaman sekarang ini. Mungkinkah melalui mukjizat-mukjizat, penyembuhan-penyembuhan, atau nubuatan? Dan setiap hari berkat dan berkat? Kalau kita menengok, justru di sini Calvin menyalis secara “cerdas” bagaimana Luther bertindak. Ia lebih kepada ajaran yang benar demi kemuliaan Allah. Atau, ia melihat sosok rasul Paulus yang kenyang penderitaan dan pengalaman hidup. Mereka berjuang dengan cara yang sama. Ajaran, pengalaman, dan penderitaan. Tidak melalui nubuatan atau mukjizat lain. Bukan kita menonjolkan “fanatisme” terhadap reformasi. Namun, keadaan sekarang inilah yang “mengganggu” diri kita untuk kembali menilik bagaimana para reformator gereja berjuang. Dengan cara apa kita membangun komunitas kerajaan Allah yang teguh yakni berpegang pada ajaran yang benar.
Jelas yang ingin diungkapkan oleh Dr. Dankbaar akan menggugah hati kita untuk membaca ulang buku “lawas” nan berharga ini. Biarpun warna kekuning-kuningan mendominasi, tetapi isinya tak terbeli. Pelajaran teologis yang tajam dan sederhana, hingga kita semua mengerti. Bukan hanya para reformator itu saja. Pemaparan mengenai Ketritunggalan Allah, karya keselamatan dalam Kristus, anugerah semata, dan hal-hal lain secara gamblang ditegaskan oleh Calvin. Tidak ada yang disembunyikan. Semua dibeberkan dan “siap” untuk diuji kebenarannya. Namun, Calvin tak tinggi hati. Ia ingin supaya dipahami secara benar dan bertindak adil. Tidak saling menyudutkan. Inilah yang menjadi kunci sukses Calvin berhubungan dengan teman-teman yang kadang juga salah mengerti atau kurang paham. Ia tak lekas mengklaim secara ekstrem, tetapi “supaya ia berhenti bertindak dan berpikir ulang mengkaji setiap perkataannya.” Tak mudah memang. Perlu banyak belajar dan memahami satu per satu. Berbagai pesan terungkap di sini dan tentunya kelemahan pun ada. Bagaimana pertobatan Calvin tidak diungkap secara jelas. Dan, siapa nama-nama anaknya pun tak disebut. Mungkinkah Calvin senior memiliki penerus bagi perjuangannya? Jawabnya, ada! Kita adalah pewarisnya! Ia berdedikasi tinggi untuk mengabdikan hidup melalui panggilan masing-masing, mengajak kita semua, rapatkan barisan dan berjuang!
(Diedit dengan perubahan minor oleh Nindyo Sasongko)
[1]Elroy Nathaniel adalah Ketua Komisi Remaja Metanoia untuk masa jabatan 2005-2007. Resensi ini dibuat pada tahun 2005, ketika ia masih duduk di bangku kelas 10 SMA.
No comments:
Post a Comment