NINDYO SASONGKO
Perkenalan Pertama dengan Iman Reformed
Berlabuh ke dermaga keyakinan iman Reformed adalah perjalanan panjang bagi saya. Semula, saya terkaget-kaget ketika mendengarkan ajaran bahwa seseorang dapat percaya oleh karena dilahirkan terlebih dahulu. Bahwa kelahiran kembali mendahului iman dan percaya seseorang. Apalagi ketika saya menerima pengajaran pemilihan anugerah sebelum dunia dijadikan. Bagaimana mungkin? Selama ini, soteriologi (doktrin keselamatan) yang saya terima tidak seperti itu! Saya bisa menunjukkan ayat-ayat yang mendukung paham bahwa keselamatan itu diterima oleh karena kehendak bebas manusia yang mau percaya atau menolak keselamatan yang ditawarkan. TITIK! Saya mampu menghafal banyak ayat, dan sewaktu katekisasi, yang saya ikuti sampai empat kali!, kesangat-seriusan saya tunjukkan dengan mengajukan pertanyaan dalam setiap sesi pertemuan.
Tetapi, suatu waktu di tahun 1997 itu benar-benar menggoncang hati saya! Seorang mahasiswa praktik dari Sekolah Teologi Bandung bernama Kak Rudiyanto mengajarkan sesuatu yang belum pernah saya dengar! Sesuatu yang asing! Tapi terus terang, uraian atas Efesus 1.3-14; 2.1-10; Roma 8.29-30 serta Yohanes 3 itu sedemikian bening, kebenaran-kebenaran firman tersebut menusuk tajam dan tak terbantahkan. Saya mengalami krisis dan pergulatan pemikiran. Tak seorang pun menyukai bila bangunan pemikiran di kepala diporak-porandakan. Tetapi, the truth is the truth!
Benarkan iman Kristen itu “agama yang berdasarkan anugerah”? Ya, karena keselamatan itu bersumber dari kasih Allah Bapa yang kekal yang memilih satu umat pilihan, dan Kristus menebus kaum pilihan itu, serta Roh Kudus menjadi jaminan sehingga kaum pilihan menerima janji keselamatan itu sepenuh-penuhnya. Dan, bahwa kelahiran baru itulah yang menyingkapkan finalitas karya penebusan Kristus, dan yang memampukan seseorang untuk percaya. Itulah masa ketika saya berkenalan dengan doktrin anugerah yang sejati.
Di Seminari Alkitab Asia Tenggara
Pertengahan tahun 1998, saya memasuki sebuah seminari Injili di jantung kota Malang, Jawa Timur, yaitu Seminari Alkitab Asia Tenggara. Seminari ini bukan sekolah teologi beraliran Reformed! Para mahasiswanya diperbolehkan untuk mencari dan menggali teologinya sendiri-sendiri. Meski banyak dosen yang berkeyakinan Reformed tradisional, ajaran ini tidak pernah disebut-sebut secara transparan baik di mimbar maupun di kelas-kelas. Bahkan, banyak orang di sana yang cukup alergi dengan istilah tersebut.
Iklim keterbukaan itu saya manfaatkan sebaik-baiknya. Selama di seminari, saya bertekad untuk belajar dengan giat. Semangat belajar kala itu adalah, mencuri start! Saya mendisiplin diri untuk belajar terlebih dahulu apa yang orang lain belum pelajari. Mata kuliah yang paling menawan hati saya adalah biblika dan teologi sistematik (dogmatika) dan kontemporer (pemikiran-pemikiran para teolog abad XX). Lumayan, sekolah itu memiliki perpustakaan yang sangat baik dan selalu di-update buku-buku terbaru. Dengan kemampuan membaca dalam bahasa Inggris yang sudah saya latih sejak SMP kelas 1, tidak satu hari pun saya lewatkan untuk mengunjungi perpustakaan dan berburu ilmu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya (kecuali hari libur). Harga yang harus saya bayar adalah, mengurangi tidur.
Kakak-kakak tingkat akhir beberapa kali berkomentar, “Biasa, mahasiswa baru, masih rajin-rajinnya,” kalau mereka melihat saya membaca buku di lorong asrama, oleh karena lampu kamar harus sudah dimatikan pada pukul 22.30. Hingga pukul 01.30 dini hari, seorang diri saja saya asyik membaca di bawah lampu neon lorong berdaya 20 Watt, tengah-tengah embusan angin malam kota Malang yang sangat dingin dan menusuk tulang. Saya ingat, buku teologi sistematik pertama yang saya baca habis di seminari adalah Our Reasonable Faith, karya Herman Bavinck, seorang teolog Reformed Belanda yang menjabat profesor dogmatika di Universitas Vrije, Amsterdam. Buku itu tebalnya kira-kira 500 halaman. Ini terjadi di semester I.
Perkenalan saya dengan Bavinck membuat saya makin yakin bahwa iman Reformed tidak sesempit perdebatan doktriner mengenai keselamatan pribadi, atau tentang predestinasi. Suatu pemandangan yang betul-betul grandiose mengenai penciptaan dan karya Allah dari awal sampai akhir saya temukan di dalam iman Reformed. Inti dari iman Reformed adalah “keagungan Allah” atau “kemuliaan Allah.” Etos Reformed diringkaskan dalam semboyan “soli Deo gloria!” Saya menarik diri dari kesibukan untuk memperdebatkan bagaimana keselamatan seseorang setelah ia mati. Bukan karena hal ini tidak penting, tetapi saya menemukan bahwa jantung hati iman Reformed jauh lebih luas dan jauh lebih dalam daripada keselamatan individu: yakni bagaimana kemuliaan Allah hadir dan dinyatakan di dalam ciptaan-Nya.
Luther dan kaum Lutheran memberikan warisan yang berharga mengenai doktrin “pembenaran melalui iman,” dan karya-karya dogmatika yang hebat. Gerakan Anabaptis memberikan teladan kemuridan yang radikal, untuk berani menjadi seperti Kristus dengan menaati sabda-sabda-Nya. Kaum Pietis membenamkan diri pada keintiman hubungan pribadi dengan Allah. John dan Charles Wesley mewariskan semangat pemberitaan salib Kristus yang menebus manusia. Tetapi iman Reformed menghayati Kekristenan seperti yang diucapkan oleh Prof. Dr. Abraham Kuyper, “There is not an inch in the whole area of human existence of which Christ, the sovereign of all does not cry, ‘It is Mine.’” Mari kita camkan, keseluruhan wilayah kehidupan manusia dikuasai oleh Kristus! Dengan perkataan lain, pengenalan akan Kristus tidak hanya berhubungan dengan surga setelah kematian, tetapi juga kehidupan sekarang ini. Itulah sebabnya, iman Reformed berjuang bukan supaya setiap orang Kristen berduyun-duyun masuk ke surga! Tetapi, bagaimana Kristus dapat mentransformasi kebudayaan di mana kita ditempatkan, demi kemuliaan Allah.
Masa-masa Menarik Diri
Pergumulan intelektual tidak berhenti sampai di sini. Terus terang, saya tidak suka menelan mentah-mentah setiap kuliah dari dosen. Merasa gerah dengan hal-hal yang langsung jadi dan instan, saya selalu berusaha meruntut bagaimana kesimpulan itu bisa ditarik demikian. Sumbernya apa? Metodenya bagaimana? Saya pun sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Banyak kali, pertanyaan itu tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Betapa sangat kecewa hati ini ketika pada suatu kali seorang dosen memanggil saya ke kantornya dan mengatakan, “Kamu dinilai sombong.” Ooh, dalam hal apa? Apakah karena pertanyaan-pertanyaan itu? Karena saya sering pinjam buku? Karena saya punya buku yang lumayan jumlahnya? Saya mencoba meminta klarifikasi. Namun, saya tidak pernah mendapatkan jawabannya. Sampai hari ini.
Saya memilih menarik diri. Betul-betul saya merasakan ketidaknyamanan, insecurity, dan perasaan dicurigai. Namun, masa ini tidak saya pakai untuk mengasihani diri, ataupun menjadi orang yang bukan diri saya. Ingat selalu akan tekad masuk ke seminari, saya pun terus belajar. Tempat yang saya rasa aman untuk diri saya adalah kamar dan perpustakaan. Sebab, di kedua tempat itu ada buku-buku. Sementara waktu saya tidak bersikap aktif di kelas, tetapi saya toh mempunyai komunitas yang tiap hari berjumpa dan berdiskusi mengenai gereja dan teologi yang operatif. Sambil menghirup kopi panas! Kami menamakan diri kelompok “B. S. H.” (kepanjangannya bisa ditanyakan kepada Kak Moses).
Di masa-masa ini, saya bergulat dengan Yesus Sejarah. Yesus Sejarah adalah kajian ilmiah mengenai pribadi Yesus yang hadir dan berkiprah di dalam sejarah. Penyelidikan ini menggali seluk belum dan hal ikhwal siapa Yesus sesungguhnya. Saya membaca buku-buku tentang hal ini, dari golongan konservatif yang meninggikan Yesus sebagai Tuhan sampai dengan golongan ekstrem liberal yang tidak percaya Yesus sebagai pribadi istimewa. Melalui kawan yang tengah bersekolah di Amerika Serikat, saya memesan buku kontroversial The Historical Jesus: Life of a Mediterranian Jewish Peasant karya John Dominic Crossan. Hampir-hampir saya diyakinkan oleh isi buku ini, hingga akhirnya saya menjumpai banyak kelemahan argumentasi dan data yang diajukan, serta kecacatan perekonstruksian kehidupan Yesus. Ia mau melepaskan Yesus dari konteks zaman dan pergulatan orang-orang Yahudi pada waktu itu. Rival yang sebanding dengan buku itu adalah Jesus and the Victory of God karya N. T. Wright.
Sejak saat itu, cara pandang saya terhadap kesaksian firman Tuhan berbeda. Bukan menjauhi iman Reformed, tetapi sebaliknya, malahan semakin dekat. Di dalam iman Reformed kesejarahan Yesus dapat dipertanggungjawabkan. Yesus diakui sebagai Mesias, dan kemesiasan Yesus makin terang benderang manakala diletakkan dalam matra teologi “kovenan” (ikatan perjanjian). Tak mungkin merekonstruksi kehidupan Yesus di luar pertanyaan apakah rencana Allah perjanjian kepada umat pilihan-Nya, yaitu Israel. Dan perlu diingat, iman Reformedlah yang mengajarkan “teologi perjanjian” dengan kepatuhan yang tinggi kepada Alkitab.
Menyitir Philip Yancey, inilah the Jesus I never knew! Mengapa Yesus dekat dengan orang-orang miskin dan tersisih? Bukan seperti “pahlawan kesiangan” yang ingin menjadi hero bagi kaum tertindas; Yesus yang sejati justru menampilkan diri sebagai pelindung. Ia yang menghadapi kuasa globalisasi pada zaman itu (Kaisar), lengkap dengan semua sistemnya yang lalim. Ia adalah Mesias, dan Dia pula yang menghadang Bahaya Besar yang hendak menerjang umat Allah, dan bahaya itu ditimpakan ke atas-Nya.
Maka sekarang, sebagai implikasinya, umat Allah yang telah dibebaskan oleh Kristus dari bahaya besar, dengan gagah berani mengklaim apa yang telah ditindaki oleh Kristus itu. Umat Allah tidak perlu takut menghadapi ancaman global, sebaliknya justru bergegas dan bersegera untuk membenahi hidup dan lingkungan tempat mereka tinggal, dan tidak mau ditundukkan oleh pola hidup globalisasi dan imperialisme gaya baru.
Memasuki Pelayanan Gerejawi
10 November 2002, saya mulai menjalani masa praktik satu tahun di sebuah gereja GKMI di kota Semarang. Masa praktik tidak saya pakai sekadar untuk melakukan kegiatan rutin di gereja, tetapi juga melakukan observasi kehidupan bergereja secara umum. Waktu berjalan, dan saya makin bingung. Kelima GKMI dewasa di kota besar Semarang memiliki corak dan gayanya sendiri-sendiri. Sampai di sini tidak masalah buat saya. Tetapi pertanyaan saya lebih lanjut adalah, dasar apa yang menjadi patokan berpijak dalam bergereja? Ada yang bercorak sangat kontemporer, ada yang bergaya Jawa, ada yang berada di “persimpangan jalan.”
Lebih dalam saya melakukan pengamatan, saya temukan bahwa gereja-gereja di kota Semarang ramai-ramai berkiblat kepada satu gereja kontemporer (berhaluan kharismatik) yang tengah jaya wijaya pada saat itu (sampai saat ini pula). Gereja ini berhasil menarik massa yang luar biasa! Haluan bergereja di kota Semarang, secara sadar atau tidak, amat dikendalikan oleh besaran-besaran jumlah dan kelengkapan fasilitas dalam gereja. Dalam beberapa kali percakapan, saya mendengar, gereja A mengadakan Natal dengan sentuhan lampu-lampu sorot yang super wah!, yang didatangkan dari Jakarta, dan itu adalah pertama kalinya di kota Semarang. Gereja B di akhir tahun memberikan door prize mobil kepada para pengunjung gereja. Di gereja C begini. Di gereja D begitu.
Bukan hanya anak muda, saya menjumpai kaum senior bahkan majelis jemaat GKMI pun tertarik untuk mengikuti kebaktian-kebaktian di gereja ini. Pagi hari datang beribadah di GKMI, sore di gereja lain. Alasannya sederhana, musiknya ditata dan dimainkan dengan baik. Ya, lagi-lagi masalah fasilitas, bukan? Benarlah perkataan Dr. Simon Chan dari Singapura; dalam buku yang terkini ia katakan, “We then market the megachurch as the model of a successful church” (Liturgical Theology, 2006:45). Jadi, apakah mengherankan bila kemudian strategi-strategi untuk memenangkan dunia bagi Kristus justru membuahkan gereja yang cara-cara pengelolaan serta nilai-nilainya tidak berbeda dengan lembaga-lembaga di dunia ini?
Coba sekarang kita pikirkan, bagaimana para pemimpin rohani yang berada di persimpangan jalan, dalam “persaingan” gereja seperti ini? Tantangan pertama adalah meniru atau mengkopi pola-pola yang ada di megachurch; kesulitan dalam hal ini ialah bahwa gereja kecil selalu kalah pada masalah kapital (modal uang) dibanding gereja mega yang akan selalu meng-update fasilitas serba mewah. Tantangan kedua adalah membangun jejaring dengan para hamba Tuhan yang lain, supaya tidak ketinggalan info, tidak terasing dan tetap mendapat “posisi” di antara gereja-gereja sekota. Tantangan ketiga adalah menjadi “profesional,” dengan memperlengkapi diri dengan kecakapan-kecakapan praktis, “know-how,” dalam masalah administrasi gereja, kepemimpinan serta taktik pemasaran gereja. Intinya, the professional minister must have some marketable skills. Karena itu, para hamba Tuhan semacam “dituntut” untuk mengikuti seminar-seminar motivasi dan pelatihan-pelatihan public speaking (berbicara di depan publik).
Saya bingung. Gereja kehilangan orientasi. Desakan untuk membuat fokus dan visi gereja adalah besaran-besaran kuantitatif (jumlah jemaat). Sekali lagi, saya harus menarik diri. Dengan terus terang, saya membuka diri sebagai seorang Reformed, sebab hanya iman Reformed saja yang berani mengevaluasi ajaran dan praktik bergereja berdasarkan maksud bagi pujian dan kemuliaan Allah saja. Panggilan untuk menjadi seorang reformed pastor-lah yang membuat saya tidak berniat untuk turut menjadi limbung di tengah-tengah godaan bergereja yang kini diukur dengan besaran-besaran kuantitatif. Konsekuensinya saya tahu benar! Mungkin tidak akan pernah populer, massa yang mengikuti saya sedikit, tidak akan menikmati fasilitas gereja yang lux, dsb., dsb. Namun, itulah jiwa Reformed: simplicity and hard work!
Visi Hidup yang Makin Terang
Hati saya kini bergirang! The truth sets me free! Masa-masa aloneness bukan menjadi loneliness yang tiada gunanya! Saya menemukan kebenaran dan kekuatan iman Reformed setelah bergumul sekian lama. Dibesarkan dalam tradisi Anabaptis-Mennonite, mengenal iman Reformed, bergumul dengan Yesus Sejarah, dan pada akhirnya saya menghayati kebenaran iman Reformed sebagaimana yang terlukis dengan begitu jelas di dalam “teologi perjanjian.” Sambil merenungkan kehidupan bergereja, saya makin disadarkan, “the glory of God and his purpose in the world are more important than the salvation of one’s soul” (John H. Leith).
Coba simak teladan kehidupan Yohanes Calvin seperti tercermin dalam sepucuk surat yang dilayangkan kepada Guillaume Farel (Agustus 1541) berikut ini.
Sebagaimana maksud saya untuk melanjutkan perjalanan, inilah perasaan saya saat ini: jika saya mempunyai pilihan, tidak ada yang lebih sulit untuk saya sepakati kecuali mengikuti nasihat Anda. Namun ketika saya mengingat bahwa saya bukan lagi milik saya sendiri, saya mempersembahkan hati saya, sebagai suatu kurban bagi Tuhan . . . Mengenai diri saya sendiri, saya protes bahwa saya tidak memiliki hasrat lain, untuk memikirkan hal-hal lain tentang diri saya, tetapi tertuju sepenuhnya hanya bagi kemuliaan Allah dan kepentingan Gereja . . . Namun saya benar-benar sadar, dengan Allahlah saya sedang berurusan, yang di hadapan-Nya bayangan-bayangan seperti itu tak dapat dipertahankan. Maka, saya menyerahkan kehendak saya dan perasaan-perasaan saya, ditundukkan dan diikat erat-erat, demi kepatuhan kepada Allah.
Kalau begitu, bagaimana mungkin saya rela untuk menukarkan iman Reformed dengan yang lain? Ataukah saya sudah purna belajar dan tak lagi memperdalam pengetahuan? Sama sekali tidak. Etos soli Deo gloria justru memacu saya untuk terus belajar sampai saat ini. Saya pun mengajukan tantangan ini kepadamu: Bagaimana mungkin kamu, yang mengerti kedalaman iman Reformed, dan berkali-kali diajar tentang kebenaran ini, kelak saat kamu berada di luar kota, membiarkan dirimu untuk mendengarkan ajaran dari guru-guru rohani yang tidak bertanggung jawab? Atau masuk ke gereja-gereja demi nyamannya perasaan subjektifmu? Atau menjadi anak muda yang bersantai-santai ria?
Setiap anak muda yang mengaku dirinya Reformed pasti akan lebih serius dengan panggilan hidupnya, menjadi seorang Reformed teenager, setelah memahami kebenaran ini:
(1) Serius dalam mencintai kebenaran dan terus belajar untuk mengenal kebenaran, sehingga kamu menjadi orang-orang yang kokoh dan tidak mudah keblinger dan kepincut dengan ajaran-ajaran manis namun merusak kerohanian—ajaran-ajaran yang ujung-ujungnya adalah narsisme.
(2) Serius dalam beribadah dan menjalin hubungan dengan Tuhan dan devosi pribadi (Saat Teduh), sebab kamu sadar bahwa kekuatan dunia ini tak mungkin dapat dilawan dengan kekuatan diri sendiri; Allah saja yang mampu bertindak atas namamu.
(3) Serius dalam belajar, sebab belajar merupakan olah gladi diri, sehingga kamu dapat menjadi penatalayan-penatalayan handal yang Allah tempatkan untuk mengubah kebudayaan; menjadi trend-setter, dan tidak cuman mengekor.
(4) Serius dalam melayani, karena kamu mengerti benar bahwa bila kamu melayani Tuhan sejak masih muda, di masa tua nanti kamu akan menjadi pemimpin-pemimpin gereja yang memiliki prioritas yang jelas dan mampu mengambil keputusan yang benar demi perjalanan gerejamu.
Maukah kamu berdoa bersama saya, doa Yohanes Calvin yang agung itu, “Cor meum tibi offero, Domine, prompte et sincere” (“Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, dengan segera dan dengan tepat”)? Amin.
TERPUJILAH ALLAH!
leNin_040107
No comments:
Post a Comment